Gugon tuhon
atau larangan-larangan ini umumnya disampaikan secara langsung, atau
melalui cerita-cerita legenda dan mitos serta melalui tembang-tembang
jawa (macapat). Banyak sekali cerita-cerita rakyat yang di dalamnya terdapat gugon tuhon di dalamnya. Biasanya, gugon tuhon
yang terdapat dalam sebuah cerita akan dipatuhi oleh masyarakat suatu
daerah tertentu. Meskipun tidak ada larangan tertulis (karena di jawa
banyak cerita rakyat yang hanya disampaikan secara lisan dan tidak
diketahui pengarangnya), masyarakat mematuhi larangan yang ada di dalam
cerita tersebut. Meskipun sepertinya tidak masuk akal, namun hal
tersebut adalah kearifan lokal suatu daerah yang patut dilestarikan.
Banyak
sekali kisah-kisah yang memuat larangan akan sesuatu di dalamnya. Sebut
saja sebagai contoh larangan bagi orang Banyumas, ketika Adipati
Banyumas ditaklukkan oleh prajurit Pajang pada hari Sabtu Pahing. Dalam
tradisi jawa, hari kematian leluhur merupakan sangaran
(dihindari) untuk melakukan berbagai hajat seperti melaksanakan
pernikahan sampai bepergian jauh. Sebelum kematiannya, Adipati Banyumas
mewariskan wewaler (larangan) bagi orang-orang Banyumas, yaitu: (1) ora kena lungan ing dina Setu Pahing, (2) ora kena mangan daging banyak, (3) ora kena nunggang jaran kulawu jongkla, (4) ora kena manggon omah sunduk sate (Herusatoto, 2012: 112-113).
Berbeda
dengan larangan bagi masyarakat Bagelen, Jawa Tengah, yang dilarang
oleh Nyai Ageng Bagelen atau Rara Bang Wetan. Larangan itu berbunyi: (1)
ora kena nganggo jarit gadhung mlathi, (2) ora kena nandur dhele, (3) ora kena mbeleh sapi, (4) ora kena lungan ing dina Slasa Wage (Ibid, 2012: 114). Pepali atau larangan ini diceritakan dalam Serat Cemporet karangan R. Ng. Ranggawarsita.
Tentunya
masih banyak wewaler (larangan) yang beredar di kalangan masyarakat
jawa, seperti larangan tidak boleh menikah dengan orang yang rumahnya
arahnya berada di sebelah tenggara dan barat laut dari rumah sendiri.
Setelah diteliti ternyata hal ini mungkin berkaitan dengan legenda Ki
Ageng Mangir. Desa Mangir berada di sebelah barat laut Kraton
Yogyakarta, sementara Kraton Yogyakarta berada di sebelah tenggara
Mangir. Seperti yang telah diketahui bahwa konon Ki Ageng Mangir menikah
dengan Pembayun, putri Panembahan Senopati. Diceritakan akhirnya Ki
Ageng Mangir mati di tangan mertuanya sendiri.
Atau wewaler yang
beredar di daerah Kudus, Jawa Tengah yang tidak boleh mengawinkan
anak-anak mereka dengan orang yang orang yang tinggal di daerah barat
sungai, karena di masa lalu leluhur mereka bermusuhan. Sementara di
daerah Kendal, Jawa Tengah, beredar larangan membangun rumah tembok
(Ibid, 2012: 118).
Sementara wewaler yang terdapat dalam tembang jawa lebih pada etika, karena berhubungan dengan perilaku manusia. Hal ini berbeda dengan wewaler yang ada dalam legenda-legenda atau mitos. Salah satu tembang jawa yang mengadung wewaler di dalamnya adalah Pepali Ki Ageng Sela.
Ki Ageng Sela adalah seorang tokoh yang muncul pada era awal Islam
berkembang di Jawa, dimana di saat itu banyak sekali muncul tokoh-tokoh
yang menggunakan sebutan Ki Ageng. Ki Ageng Sela juga dikisahkan mampu
menangkap halilintar dengan tangannya.
Dalam Serat Pepali Ki Ageng Sela, tertulis:
Pepali-ku
ajinen mbrekati/ Tur slamet sarta kuwarasan/ Pepali iku mangkene:/ Aja
gawe angkuh/ Aja ladak lan aja jail/ Aja ati serakah/ Lan aja celimut/
Lan aja mburu aleman/ Aja ladak, wong ladak pan gelis mati/ Lan aja ati
ngiwa//
Bait tersebut tertulis pada pupuh pertama Serat Pepali Ki Ageng Sela yang berupa tembang Dhandhanggula yang populer bagi masyarakat Jawa. Jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, pepali tersebut akan menjadi seperti ini: laranganku
ini hargailah sebab memberkahi/ lagipula menyelamatkan serta
menyehatkan jiwa/ larangan itu seperti ini:/ jangan bersikap angkuh/
jangan bengis dan jahil/ jangan tamak, serakah, dan loba/ jangan panjang
tangan/ jangan memburu pujian/ jangan pemarah karena pemarah akan cepat
mati/ jangan berhati jelek//
Penggunaan
kata “aja” yang berarti “jangan” mempertegas bahwa hal-hal tersebut
tidak boleh dilakukan. Uniknya, Pepali Ki Ageng Sela ini berlaku tidak
hanya untuk orang jawa, karena larangan-larangan tersebut mencakup
beberapa hal, yaitu etika sampai ajaran agama Islam. Selain Pepali Ki
Ageng Sela, terdapat juga Pepali Panembahan Senopati (Ibid, 2012: 106)
yang berbunyi, “sak turun-turunku, manawa magut jurit aja pisan-pisan nunggang jaran batikan”.
Sumber: http://nglengkong.blogspot.com/2012/02/gugon-tuhon-larangan-dan-etika-jawa.html
like this
BalasHapusfollow back :)
http://yuniatun.blogspot.com